Gambar yang anda lihat disamping adalah kondisi KRL AC Sudirman Ekspress Jakarta (saya foto sendiri). bersih, rapi, dingin dan cukup nyaman. KRL-KRL ini sebagian (atau seluruhnya?) adalah sumbangan dari biro transportasi Tokyo-Jepang (bisa anda lihat tulisannya di dalam gerbong, disudut dekat pintu).
Belakangan ini, saya mulai keranjingan naik KRL-AC tersebut selain juga keranjingan naik Busway. meskipun kualitas layanan KRL-AC dan Busway kita jauh dari bayangan tentang moda transportasi ideal, tapi dua sarana ini boleh dibilang sudah mulai menjadi tulang punggung warga kelas menengah Jakarta. Apalagi kalau kita sudah bicara tentang KRL ekonomi, sudah pasti merupakan salah satu jantung transportasi jarak menengah antar Jakarta dan daerah-daerah penyangganya.
Beberapa bulan belakangan ini setiap saya pulang dari stasiun Sudirman Manggarai ataupun Sudirman ke arah Serpong, jumlah penumpang yang naik KRL AC semakin banyak. Suasana di kereta makin sesak kalau kita sudah masuk ke stasiun Tanah Abang. bila kita naik kereta pukul 3, dipastikan kereta penuh oleh ibu-ibu yang pulang dari tanah abang. nah, kalo kita naik pukul 4 dst, dipastikan kereta penuh orang kantoran. pemandangan ini masih kalah bila saya bandingkan dgn KRL AC arah Bekasi dan Bogor yang lebih padat lagi.
KRL ekonomi AC boleh dibilang suatu moda transportasi yang sangat layak untuk masyarakat Jakarta, selain dingin, harganya pun masih sangat terjangkau warga, meskipun manajemennya masih belum rapi, tetapi kualitas yang diberikan masih dalam batas kewajaran. sayangnya dengan melihat kepadatan penggunanya, frekuensi kereta yang melintas masih terlalu sedikit. bandingkan dengan frekuensi transportasi massal serupa di Luar Negeri yang hampir setiap 15 menit ada. apalagi jika kita melihat KRL ekonomi biasa, sangat disayangkan kualitasnya yang jauh dari layak. gambar di bawah adalah kereta ekonomi biasa, yang meskipun biasa tetap saja keselamatan harus diutamakan, nyatanya? semua kereta ekonomi biasa tidak memiliki pintu..
padahal percayakah anda? pengguna kereta ekonomi biasa adalah 100 juta penumpang setiap tahun, jauh melebihi pangsa pasar kereta ekonomi AC yang mencapai 10 juta penumpang per tahunnya. berikut statistiknya yang saya copy langsung dari website dirjen perkeretaapian-dephub.
sumber gbr: http://perkeretaapian.dephub.go.id/images/statistik/volp.png
hal ini mencengangkan saya, karena ternyata KRL Jabotabek benar-benar tulang punggung transportasi warga kota Jakarta. bukankah ini seharusnya bisa menjadi jalan keluar yang nyata bagi kemacetan di Kota Jakarta? sementara pemerintah malah ribut mengurus subway dan MRT yang berbiaya triliunan tapi tidak ada yang mau membiayai.
fenomena semakin padatnya penumpang dan rendahnya frekuensi kendaraan ini juga terjadi di jalur busway. Di satu sisi busway mulai mendapat perhatian masyarakat, terbukti dari makin padat dan tidak karuan jumlah penumpangnya. nyatanya di lain sisi frekuensi bus tidak juga bertambah bahkan berkurang. sarana prasarana pendukung busway pun rusak tidak karuan.
Disinilah seharusnya masyarakat mempertanyakan keseriusan pemerintah menyediakan sarana transportasi. ketika jalan keluar yang paling tepat sudah tersedia pemerintah malah tidak sanggup mengelola dan memanfaatkannya dan malah terus mencari proyek-proyek baru lainnya yang (dijanjikan) akan mengatasi kemacetan (dan menghabiskan pos anggaran baru).
Disini juga harus dipertanyakan. apakah tujuan akhir dari suatu anggaran pemerintah? apakah untuk memberikan manfaat (benefit) yang optimal bagi masyarakat? atau seperti anggaran perusahaan untuk memperoleh marjin keuntungan (profit) berupa uang bagi pemerintah?