Tuesday, October 21, 2008

Beberapa Catatan atas 10 Arahan SBY Hadapi Krisis

Berikut beberapa hal yang patut dicatat sebagai bahan kritik atau mungkin sebagai pertanyaan tentang 10 poin arahan sby utk menghadapi krisis finansial


Pertama, optimistis, bersatu, dan bersinergi untuk
mengelola, serta mengawasi dampak krisis yang melanda Amerika.


Agak klise, tapi okelah sebagai ajakan seorang pemimpin. optimis tapi kebablasan bahaya juga, klo kata2nya "waspada" mungkin lebih baik.

Kedua, menyerukan untuk tetap mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang mencapai enam persen.

kenapa kekeuh pertumbuhan ekonomi? toh ternyata pertumbuhan ekonomi kemarin lebih banyak di pasar uang? toh ternyata yang mengerti dan bisa menikmati pasar uang cuma orang-orang kaya, toh ternyata pasar uang terbukti hancur karena krisis? toh ternyata pasar uang cuma memberi pertumbuhan ekonomi semu? lalu kenapa suku bunga malah dinaikkan yang malah membuat pasar riil tambah susah sementara pasar uang malah dibantu yang jelas2 membuat susah?

mungkin lebih bagus kata2nya : mari kita memperkuat sektor riil, mari kita arahkan pertumbuhan di sektor riil, mari kita lebih realistis..

Ketiga, mengoptimalkan APBN 2009 untuk tetap memacu pertumbuhan ekonomi dan membangun social safety,

mengoptimalkan disini apa maksudnya? ekspansif? atau kontraktif?
klo ekspansif artinya naikkan Pengeluaran, kurangi pajak..
klo kontraktif artinya tahan pengeluaran, tambah pajak..
seharusnya kalau terjadi krisis yang dilakukan adalah ekspansif, dengan tujuan mendorong perekonomian kembali dengan belanja pemerintah yang lebih besar kepada masyarakat, sementara pajak yang memberatkan orang kecil dikurangi untuk meningkatkan daya beli.. pajak ekspor dikurangi,,
kalo kontraktif biasanya kalo pertumbuhan ekonomi terlalu tinggi, untuk mendistribusi hasil pertumbuhan agar lebih merata dan mencegah inflasi juga bubble economics..
nah disini arahnya kmana? harusnya poin arahan disini lebih grounded, agar keprcayaan masyarakat lebih tumbuh..

kelima, efisiensi, dan batasi pembelanjaan yang konsumtif, serta pembelanjaan yang bisa ditunda.
Nah yang ini juga menarik untuk disimak, kalo dilihat poin ini kontraproduktif dengan poin sebelumnya.. perlu dipertanyakan juga siapa yang harus membatasi pembelanjaan, orang kaya? konsumen? atau produsen? kalo orang kaya oke, tapi klo produsen membatasi pembelanjaan bagaimana mereka bisa tumbuh? seharusnya malah didukung oleh belanja pemerintah, dan konsumen secara keseluruhan seharusnya didukung peningkatan daya belinya..
lebih baik kalau isi arahan yang ini lebih ditujukan pada bagaimana meningkatkan kembali daya beli masyarakat secara umum sehingga masyarakat mendorong sektor riil utk tumbuh.

Keempat, dunia usaha atau sektor riil harus tetap bergerak supaya pajak dan penerimaan negara tetap terjaga. Sehingga pengangguran tidak bertambah. Kewajiban BI adalah menjamin kredit dan likuiditas, sedangkan kewajiban pemerintah pada kebijakan regulasi, iklim, dan insentif agar sektor riil tetap berjalan.
ini arahan yang sebenarnya bentuknya lebih membumi, paling teknis, dan lebih meyakinkan tapi... isinya masih membingungkan..
bagaimana sektor riil mau bergerak, kalau pemerintah malah meminta pajak? bagaimana mereka memilki harga yang bisa bersaing dengan produk cina? bagaimana mungkin pengangguran bisa dikendalikan klo ekonomi masih biaya tinggi?
seharusnya arahan ini digabung dengan arahan ttg pertumbuhan ekonomi dan tidak perlu mengungkit soal pajak.. sensitif buat sektor riil.. atau bisa juga dengan arahan pada pelaku pasar dan aparat pemerintah untuk mengurangi high cost economy (ekonomi biaya tinggi)..
dan hati2 inflasi (kenaikan harga secara umum) dan pengangguran berbanding terbalik, pilih mana yang ingin dikendalikan..

Kelima, cerdas menangkap peluang untuk lakukan perdagangan dan kerjasama ekonomi dengan negara lain.
kalau yang ini saya setuju, tetapi kenapa baru sekarang? selama ini kita terlalu bergantung pada Amerika Serikat, Asia Timur dan eropa, sementara negara berkembang lain sudah merambah pasar yg lebih potensial (penduduknya lebih banyak). lalu kenapa hanya timur tengah dan Rusia yang menajdi target perlausan pasar, klo Rusia sih Oke. penduduknya sama dengan AS, tapi jgn lupa masih ada Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh) yg penduduknya buanyak sekali, Afrika yang sangat dekat hubungan politiknya dgn Iindonesia dan Amerika Latin (yang cenderung ekonominya saat ini lebih stabil.. ), semuanya jelas-jelas memiliki penduduk yg sangat banyak dan memiliki hubungan politik yang jauh lebih baik dgn Indonesia.

Keenam, melakukan kampanye besar-besaran untuk konsumsi produk dalam negeri.
nah ini juga aneh, Kampanye? kenapa hanya sebatas kampanye, cara yang dipikirkan? kenapa targetnya hanya masyarakat sebagai konsumen? Masyarakat jangan disalahkan karena tidak membeli produk dalam negeri? masyarakat akan membeli produk kita, kalau produk kita mudah diperoleh dan memiliki harga serta kualitas produk yang bersaing.
nyatanya di kalimantan dan beberapa provinsi lainnya terutama di daerah yang berbatasan langsung dengan luar negeri, kita akan lebih mudah menemukan produk Malaysia, Cina, dan Taiwan, bahkan Phillipina. dimana harus mencari produk kita? sementara produk kita saja di Jakarta kesulitan bersaing harga dgn produk cina, bila dipaksakan membeli produk lokal bagaimana kita bisa mencegah masyarakat menjadi lebih konsumtif? kan harga lokal lebih mahal.
seharusnya pemerintah yang memfasilitasi produk lokal agar lebih mudah diperoleh dan terjangkau harganya.
sektor usaha yang harus lebih dihimbau, utnuk menciptakan produk lokal yang lebih berdaya saing. tidakhanya untuk bersaing di luar negeri tetapi juga dalam negeri. hati-hati kalau tidak bisa bersaing, krisis finansial AS akan menyebabkan produk cina membanjiri Indonesia dengan ahranya yang super murah.. baik legal maupun ilegal. kecuali pemerintah berani mendumping dan memberikan tarif yg tinggi pada Cina, dan benar2 menjaga jalur masuk distribusi barang ke DN agar dpt menekan penyelundupan masuk.

Ketujuh, adanya sinergi kemitraan antara pemerintah, BI, dan pihak swasta.
memang selama ini tidak ada sinergi? ketauan dong ngga kompak.. kenapa pemerintah daerah tidak dilibatkan? bukankah mereka yang paling menentukan sekarang, terutama bagi sektor riil.

Kedelapan, menghentikan sikap ego sektoral dan budaya bisnis usually.
wah yang ini no komen, kayanya masalah pribadi intern pemerintah. kalo urusan budaya bisnis "usually" kita kursus bahasa Inggris yuk.. makanya aparatnya juga harus transparan dong,, jgn mau berkolusi dengan bisnis "usually"..

Kesembilan, pada 2008-2009 adalah tahun politik dan pemilu, sehingga Presiden menyerukan, untuk melakukan politik yang nonpartisan dalam menghadapi dampak krisis global ini.
gimana ga non partisan partainya aja sekarang udah ngebengkak lagi diatas 34 parpol.. kalo soal pemilu 2009 sih tinggal bagaimana presidennya aja meningkatkan kepercayaan masyrakat dengan membuktikan semua arahan 1 sampai 8 bisa dilakukan.. klo bener2 dilakukan insya allah bisa menang lg, minimal putaran pertama..


Kesepuluh, melakukan komunikasi tepat dan bijak kepada masyarakat.
ini arahan buat masyarakat atau intern pemerintah? mungkin bisa diperjelas buat intern pemerintah apa, buat masyarakat apa? komunikasi yang tepat seperti apa? bijak seperti apa?
mungkin lebih bagus kalo "segenap penentu kebijakan harus benar-benar mewujudkan arahan diatas agar kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah terus terjaga bahkan semakin meningkat"


Yah demikian saja komentarnya.
yang paling penting pemerintah harus membuat kebijakan yang benar-benar membumi, bisa dimengerti, bisa dilaksanakan dan bisa dirasakan seluruh lapisan masyarakat..
jangan membuat arahan yang membingungkan dan tidak dimengerti dan bisa disalahtafsirkan masyarakat awam seperti saya..

Tuesday, October 14, 2008

Subprime Mortgage??

kata subprime mortgage sekarang ini sedang sering2nya keluar di media massa. Apa maknanya?

Waktu pertama kali saya dengar kata itu, saya agak kesulitan memahaminya.. sesudah baca berkali-kali, diulang-ulang, buka semua buku, buka internet dan sering baca dikoran. Nah kalo pake bahasa saya kira-kira begini penjelasannya:

Andaikan anda seorang buruh pabrik yang selama ini mengontrak di gang sempit, tiba-tiba anda ditawarkan kredit rumah (KPR) tipe 90 di real estate baru dgn harga yang lumayan mahal (anggap Rp. 200 juta) tapi dengan DP yang sangat rendah (mis 5%) dan ada grace period (tenggat waktu ga usah bayar cicilan) 1 tahun. Wajar kalau anda tertarik. Secara rasional anda bisa menikmati rumah lumayan mewah itu selama 1 tahun hanya dengan modal 10 juta rupiah (itung2 ngontrak), dan tanpa jaminan apapun kecuali rumah itu sendiri. Kalau anda tidak sanggup untuk membayar cicilan maka di akhir grace period anda tinggal angkat kaki dan rumah menjadi milik bank yang memberikan KPR.

Itulah kejadian di Amerika Serikat. Banyak properti dibangun, sumber pembiayaannya adalah bank-bank besar yang terlalu banyak memiliki dana nganggur (dana pihak ketiga) yang tidak tersalurkan, akhirnya dengan sumber pembiayaan yg besar, properti pun dibangun secara massal, kemudian agar properti ini cepat laku, rumah-rumah berukuran menengah ini dibangun dengan harga yang mahal dan ditawarkan pada kelompok menengah kebawah (biasanya buruh pabrik) dengan skema pembiayaan yang sangat ringan. Akhirnya berbondong-bondong masyarakat membeli properti tersebut.

Kumpulan hipotek utang-utang properti masyarakat kelas menengah kebawah inilah yang disebut subprime mortgage (subprime karena kemungkinan kesanggupan bayarnya tidak sebesar kelas menengah dan menengah keatas). Agar memperoleh untung lebih cepat, surat utang yang belum jatuh tempo ini kemudian oleh bank dijual kembali ke pihak ketiga. Biasanya dibeli oleh perusahaan-perusahaan investasi berskala besar dan dijual kembali dalam bermacam-macam produk investasi yang mereka tawarkan ke masyarakat, biasanya digabung dengan surat-surat berharga lain dalam bentuk reksadana dengan penawaran bunga yang sangat menarik bagi masyarakat yang ingin berinvestasi di pasar uang.

Yang menjadi masalah nilai surat berharga itu bubble, yang ditawarkan belum tentu sebesar jaminannya. Nah, ketika surat utang itu jatuh tempo, ternyata banyak pengutang yang gagal bayar, mereka tidak sanggup membayar cicilan rumahnya. Dan solusinya mudah bagi mereka, mereka tinggalkan begitu saja rumah-rumah tersebut dan kembali ke rumah lama mereka. Masalah besarnya rumah yang ditinggal tidak satu dua rumah saja, tetapi ratusan ribu hingga jutaan rumah!.

Meskipun harga rumah ini mahal, tetapi karena ada jutaan jumlahnya dan tidak ada pembelinya, maka nilai rumah itu menjadi kecil bahkan tidak bernilai. Nilai riilnya bahkan ada yang tiak mencapai 10% dari nilai yang tertera. Akhirnya terkuak bahwa nilai jaminan perumahan itu jauh dibawah kredit yang telah disalurkan BTN Amerika (Fannie Mae, Freddie Mac). Berarti nilai-nilai surat utang itu selama ini seperti gelembung balon, yang ketika balon itu dipecahkan, besarnya jauh dibawah ukuran gelembungnya. Dan terjadilah gagal bayar, gagal bayar dan gagal bayar lainnya karena kasus serupa (baca tulisan saya sebelumnya).

Ternyata pasar uang hanyalah pasar semu yang sangat khayal, wujud aslinya belum tentu segagah namanya banyak ketidakpastian yang tidak bisa diukur. Jadi wajar saja kalau banyak yang mengatakan kalau pasar uang itu lebih mirip pasar judi daripada pasar yang sebenarnya

Kenapa Krisis? Kenapa Terjadi Bubble Economics?

Bila kita membaca Koran beberapa hari terakhir, banyak sekali berita mengenai krisis keuangan yang terjadi di seluruh dunia dan seringkali muncul istilah bubble economics, pasar uang, hot money dan istilah-istilah lainnya yang terkadang malah tidak menjelaskan apapun mengenai krisis itu sendiri. Mari kita sedikit memahami krisis ini dengan bahasa yang sedikit lebih sederhana. Pertama kita harus tahu bahwa dasar krisis ini terjadi dikarenakan adanya bubble economics alias gelembung balon ekonomi yang pecah dan akhirnya ketahuan ukuran balon itu yang sebenarnya.

Gelembung balon ekonomi inilah yang selama ini membesar akibat pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat terutama di pasar uang (apakah pasar uang itu? Pasar uang itu pasar dimana uang tidak berubah menjadi barang atau jasa tetapi uang itu sendiri yang didagangkan oleh dalam pasar). Kalau anda sering membaca istilah hot money dikoran-koran, itulah uang yang beredar di pasar uang, biasanya diidentikkan juga dgn investasi tidak langsung (investasi tidak berubah menjadi barang modal fisik seperti pabrik, tanah, dll tetapi hanya berbentuk surat berharga, surat utang, obligasi). Investasi tidak langsung ini biasanya terjadi di pasar modal, pasar valas, pasar komoditi (bursa berjangka) yang menjualbelikan kontrak komoditi yang baru ada barangnya beberapa bulan kedepan.

Nah, berbagai macam bentuk produk yang diperjualbelikan di pasar uang memiliki nilai tertentu yang laku dijual dipasar dalam jangka panjang karena menjanjikan keuntungan yang besar setelah habis waktu jatuh temponya, begitu pula dalam jangka pendek, karena margin selisih keuntungan dari jual beli surat tersebut di pasar sekunder (mirip pasar barang bekas).

Sebagai ilustrasi, suatu perusahaan pengolah kelapa sawit membutuhkan modal untuk mengekspansi kebun dan pabrik milik perusahaannya, maka ia menerbitkan surat utang sebesar 1 juta dollar yang akan dibayar lima tahun lagi dengan bunga 25% atau dibayar lima tahun lagi sekira 1,25 juta dollar, kemudian ia melepasnya di pasar uang. Karena harga kelapa sawit sedang meningkat pesat dan perusahaan ini dimiliki oleh perusahaan asing yang ternama dan pengusaha lokal yang terkenal sukses di masyarakat, maka pasar sangat percaya bahwa obligasi ini tidak akan gagal bayar alias pasti akan dibayar nantinya. Akhirnya obligasi itupun langsung dibeli senilai dengan surat utangnya.

Kemudian karena harga kelapa sawit naik terus, obligasi ini diperjualbelikan lagi dengan harga yang lebih mahal hingga mencapai 1,1 juta dollar. Kemudian tiga tahun kemudian tiba-tiba, karena terlalu banyak supply kelapa sawit dipasar, maka harga kelapa sawit jatuh, pemilik surat berharga pun mulai ketakutan kalau-kalau perusahaan gagal bayar, maka ia menjualnya dengan harga lebih murah yakni 900 ribu dollar, tiba-tiba setahun kemudian harga kelapa sawit kembali jatuh dan perusahaan rugi besar. Akhirnya pemilik obligasi segera menjual dengan harga 700 ribu dollar, karena tidak ada yang mau membeli, ia pun menurunkan kembali hingga angka 500 ribu dollar. Sampai akhirnya sebulan sebelum jatuh tempo, perusahaan perkebunan dinyatakan bangkrut karena tidak sanggup membayar gaji karyawan. Akhirnya ketika dinilai asetnya, aset perusahaan yang bisa disita tidak lebih berupa perkebunan yang sudah mati dan pabrik yang terbengkalai dengan nilai tidak lebih dari 250 ribu dollar. Rugilah sang pemilik obligasi yang terakhir, dari nilai obligasi yang tertera 1,250 juta dollar ternyata hanya bernilai riil 250 ribu dollar.

Contoh yang berbeda namun lebih mudah dan lebih ekstrem adalah jual beli kontrak komoditi di bursa berjangka. Sebagai ilustrasi, permintaan bawang diprediksi akan melonjak 10 bulan kedepan, mengantisipasi itu spekulan membeli kontrak pembelian bawang satu juta ton dari suatu perkebunan di Sulawesi senilai 10 ribu/kg untuk musim panen 10 bulan lagi. Karena pasar percaya bawang akan naik terus permintaannya, maka kontrak itu pun dijual kembali oleh spekulan dengan harga 12 ribu/kg, tiga bulan kemudian, kontrak berpindah tangan lagi senilai 14 ribu/kg. Sampai pada akhirnya mencapai 17ribu/kg. Tiba-tiba menjelang panen, datang banjir yang menyebabkan lahan perkebunan bawang yang ada hilang dan terjadi gagal panen, akhirnya hanya seratus ribu ton bawang yang dpt dikirim. Diperjalanan salah satu kapal hampir karam dan muatan dibuang ke laut, tersisa 50 ribu ton. Ternyata karena seluruh petani bawang di Jawa juga memprediksi harga akan naik, maka seluruh petani di Jawa juga menanam bawang berlebih sehingga malah terjadi over supply hingga harga bawang jatuh sampai 1000 rupiah/kg. Terbayang oleh anda berapa nilai investasi yang hilang?

Nah, contoh-contoh diatas terjadi saat ini di dunia dan di Indonesia, harga-harga nominal yang berlaku di pasar uang selama ini hanyalah harga ekspektasi atau harga semu, tidak nyata. Para pelaku pasar hanya bisa meramal dan berjudi dengan waktu menebak harga yang sebenarnya. Meskipun metode peramalan yang digunakan sangat sophisticated, tetap saja nilai ketidakpastian dalam ekonomi akan selalu ada dan tidak bisa dipastikan besarannya. Kenyataannya harga nominal yang muncul keburu dijadikan patokan oleh masyarakat terutama pelaku pasar untuk berinvestasi alias melipatgandakan keuntungan mereka secara instan. Tetapi seperti berjudi, akhirnya nilai yang sebenarnya baru bisa diketahui jatuh tempo.

Uang yang dijadikan taruhan oleh masyarakat dipakai untuk membeli paket-paket surat berharga layaknya membeli barang dagangan dan jumlahnya terus membesar dan diputar kembali oleh bank atau perusahaan penjual paket, dijadikan modal kembali atau dbelikan kembali paket serupa dari bank yang lebih besar di luar negeri dan terus berputar seperti itu hingga nilai kekayaan mereka terus berlipat-lipat ganda menggelembung layaknya balon.

Tetapi mereka lupa satu hal, setiap utang, surat berharga, kontrak dan lainnya harus ada jaminan yang nilai barangnya setara dan semuanya tetap dibatasi ruang dan waktu sehingga pasti ada akhirnya.

Ternyata sekarang balon itu pecah juga, entah karena sudah jatuh tempo ataupun karena sudah terlalu banyak balon itu diisi sehingga tidak ada lagi ruang tersisa untuk bernafas dalam gelembung perekonomian, ternyata terungkap kalau selama ini nilai investasi mereka secara riil tidak sebesar balon yang selama ini mereka lihat. Itulah fatamorgana alias bayangan semu yang selama ini tampak nyata dimata para pelaku pasar uang.

Sayangnya fenomena ini sudah keburu merembet keseluruh dunia dan dampaknya akan dirasakan sebentar lagi oleh hampir setiap lapisan masyarakat termasuk masyarakat lapisan bawah yang sama sekali tidak paham apalagi terlibat dalam pasar uang dan ini semua akibat moral hazard dan ketidakjujuran kapitalisme global (lebih lanjut mengenai kapitalisme global baca tulisan sebelumnya, judul : Krisis Keuangan: Informasi Pasar Yang Tidak Sempurna.)

Beberapa Hal yang Akan Terjadi di Indonesia Akibat Krisis Amerika Serikat


Krisis yang terjadi sekarang di AS sudah pasti akan berpengaruh di Indonesia, tetapi dampak yang akan terjadi belum bisa diprediksi. Tapi ada beberapa hal dalam sektor riil yang harus segi diantisipasi karena menyangkut sendi kehidupan masyarakat di Indonesia:

1. masuknya barang secara ilegal dari Luar Negeri secara besar-besaran terutama barang ritel, hal ini terjadi karena produsen ritel terbesar yakni Cina, akan menghadapi dumping besar-besaran yang dilakukan AS dan Eropa, apalagi ditambah dengan isu melamin. Sementara mesin pabrik industri Cina tidak mungkin dihetikan dan kapasitasnya sangat besar. Satu-satunya cara adalah memasukkannya ke pasar-pasar alternatif, termasuk Indonesia, dan Indonesia akan kesulitan menghambatnya, karena terlalu banyak jalur perdagangan ilegal terutama pelabuhan-pelabuhan gelap di Indonesia.

2. keluarnya barang (ekspor) secara ilegal ke luar negeri secara besar-besaran. Tingginya ongkos produksi dan biaya distribusi, juga kebutuhan akan uang cepat, memaksa perdagangan ilegal kembali marak, terutama untuk komoditi hutan dan laut (kayu dan ikan)

3. menurunnya daya beli yang berakibat berkurangnya rasa cinta produksi dalam negeri dan semakin tingginya konsumsi barang luar negeri, pada kenyataannya banyak barang luar negeri terutama barang konsumsi yang harganya jauh lebih murah saat ini, apalagi bila penyelundupan ilegal dari Cina meningkat, produsen kita akan sangat sulit bersaing ditambah semakin mahalnya biaya distribusi. Saat ini saja, masyarakat-masyarakat di Perbatasan Kalimantan Timur, Barat, Sulawesi Utara, Maluku Utara lebih banyak berbelanja di Malaysia dan Phillipina ketimbang di Indonesia sendiri.

4. semakin tingginya persaingan di pasar dalam negeri, akan menyebabkan persaingan usaha tidak sehat kembali marak, akibat banyaknya barang ilegal yang masuk dan semakin rendhanya daya beli masyarakat produsen lokal harus bersaing keras dan hukum siapa yang kuat akan bertahan pasti terjadi meskipun kita memiliki UU Persaingan Usaha

5. naiknya ongkos produksi dan persaingan yang ketat berakibat runtuhnya produsen lokal, naiknya pengangguran dan berakibat pada naiknya angka kriminalitas. Kriminalitas dipastikan meningkta bila penganguran juga meningkat ditambah dengan rendahnya daya beli masyarakat akan mendorong manusia berpikir cepat unutk memenuhi kebutuhannya dan terkadang irasional sehingga bukan saja kriminalitas yang meningkat teteapi juga tingkat depresi.

6. permintaan akan komoditas-komoditas manufaktur Indonesia di LN akan semakin turun akibat melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia. Permintaan baja, tekstil, bahkan mungkin hingga ke TKI akan menurun seiring berkurangnya pertumbuhan ekonomi di negara mitra utama seperti Cina untuk baja, AS untuk tekstil dan Korea, Malaysia serta Taiwan untuk TKI kerah biru (buruh bangunan, buruh pabrik).

7. sektor transportasi untuk distribusi kehilangan pasar. Berkurangnya komoditas yang diperdagangkan akan membuat sektor transportasi distribusi yang selama ini menyerap tenaga kerja besar akan menurun aktivitasnya terutama pelabuhan dan kapal kargo. Artinya tingkat pengangguran bisa meningkat di sektor ini.
8. rendahnya permintaan kredit untuk usaha akibat suku bunga yang tinggi, mengakibatkan UKM kesulitan untuk berkembang, para pengangguran yang berencana akan beralih menjadi wirausaha juga akan berpikir dua kali.

9. kesemuanya berujung pada semakin sulitnya menekan angka kemiskinan di Indonesia.

Beberapa solusi yang harus dilakukan:
  • Peningkatan keamanan dalam negeri, terutama pengawasan perbatasan, perairan, hutan, pintu-pintu masuk dari LN dan pengawasan pelabuhan gelap. Potensi yang akan terjadi adalah peningkatan perdagangan ilegal dari luar negeri ke dalam negeri maupun sebaliknya
  • jangan hanya menuntut masyarakat ”gunakan produk dalam negeri” tetapi fasilitasi juga oleh pemerintah, bantu distribusikan produk-produk lokal ke seluruh pelosok Indonesia. Hal ini sekaligus membuka pasar produk dalam negeri. Kembangkan perdagangan intra dalam negeri, antar provinsi. Sehingga perekonomian masyarakat meskipun lebih subsisten tetapi tidak terlalu bergantung pada LN. Nyatanya didaerah perbatasan dan kawasan timur Indonesia, barang-barang lokal tidak banyak dan sangat mahal, sementara produk malaysia dan cina membanjir disana.
  • Sektor bisnis, harus merubah target pasar mereka, jangan hanya mengandalkan ekspor tetapi juga ekspansi pasar di dalam negeri.
  • beri fasilitas kemudahan kredit, perizinan dll. yang lebih besar bagi sektor UKM ketimbang bagi usaha besar. Hal ini untuk mengantisipasi agar para pengangguran mau berwirausaha.
  • kembangkan pemberdayaan kemampuan ekonomi keluarga, sehingga perekonomian keluarga tetap hidup tanpa bergantung pihak lain. Sekaligus untuk meningkatkan daya beli mereka dan mencegah perekonomian yang semakin subsisten di pedesaan.

Krisis Keuangan: Dampak Informasi Tidak Sempurna.


Krisis moneter yang terjadi di AS dalam beberapa bulan terakhir ini telah merontokkan kepercayaan publik terhadap kapitalisme. Sayangnya kesadaran datang terlambat, kapitalisme telah terlanjur mendunia. Disinilah kebobrokan jargon globalisasi terungkap. Globalisasi yang selama ini mengagungkan kebebasan pasar telah kebablasan dan secara tidak sadar lupa bahwa asumsi pasar yang sempurna menuntut adanya nilai-nilai etik dalam bisnis berupa informasi yang sempurna bagi semua pihak. Faktor nilai inilah yang telah dilupakan.


Secara kasar dapat dikatakan dalam globalisasi pasar yang terjadi sekarang ini, yang berlaku adalah hukum rimba (yang kuat yang menang) bukan hukum pasar yang sebenarnya. Padahal pasar menuntut kesempurnaan yang berujung pada dijunjungnya nilai-nilai transparansi dan ini disalahartikan menjadi pasar yang bebas sebebas-bebasnya. Dampaknya, seluruh dunia telah terkena virus mimpi indah globalisasi yang ujung-ujungnya hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan multinasional berskala besar dan perusahaan-perusahaan keuangan dunia yang memonopoli informasi pasar.


Nyatanya asumsi bahwa pasar bisa bersaing dengan sempurna sendiri hampir tidak akan pernah terjadi apalagi dalam globalisasi karena hampri mustahil memenuhi semua asumsi pasar persaingan sempurna, padahal perilaku bisnis selalu menuntut adanya keuntungan laba supernormal (ada kelebihan profit) dan mereka akan melakukan berbagai cara untuk memenuhinya. Oleh karenanya siapa yang memiliki informasi tentang pasar paling banyak dialah yang akan memenangkan persaingan.


Salah satu asumsi yang gagal dipenuhi ekonomi pasar adalah asumsi perfect information (informasi yang sempurna di pasar, baik produsen maupun konsumen memperoleh informasi yang sama mengenai komoditas yang ditransaksikan). Kenyataannya perusahaan-perusahaan berkelas multinasional kerjanya hanya melakukan manipulasi informasi, menutupi keuntungan untuk mengurangi pajak, menaik-naikkan keuntungan agar dipercaya pemodal, menutupi audit, memainkan skema pasar uang dan lainnya yang ujung-ujungnya hanya membuat nilai perekonomian yang tinggi namun semu atau maya, pada kenyataannya nilai atau harga yang sebenarnya tidak pernah sebesar nilai nominal yang ditunjukkan baik itu harga saham perusahaan, profit, sampai ke harga produk perusahaan. Pada akhirnya semua terungkap dan ekonomi pasar terbukti tidak memberikan apa-apa kecuali kesejahteraan yang palsu. Seluruh dunia dibuai dengan skema produk investasi keuangan Lehman Brothers yang hanya bergantung pada nama besar si Bank padahal jaminan yang mereka miliki nilai riilnya tidak sebanding dengan nominalnya.


Ini membuktikan bahwa ilmu ekonomi pasar nyatanya tidak mampu menangkap gejala ketidakpastian informasi yang akan terjadi dalam transaksi. Informasi Tidak Sempurna (Asimetris) adalah salah satu penyebab terjadinya kegagalan pasar. Selama ini asumsi ini tidak menjadi fokus perhatian dalam materi-materi ilmu ekonomi, yang lebih dianggap sebagai penyebab kegagalan pasar biasanya hanya monopoli, public goods ataupun eksternalitas (polusi dll).


Menariknya justru masalah Informasi inilah yang menjadi fokus perhatian penyebab krisis saat ini. Sejak awal ekonom senior AS, Joseph Stiglitz sudah memperingatkan bahwa informasi yang asimetris adalah faktor yang paling dominan dibalik kegagalan pasar dan sangat berbahaya bagi globalisasi dak Kenyataannya memang terbukti.


Informasi yang tidak sempurnalah yang beredar di pasar, ini terjadi akibat moral hazard para pelaku pasar global yang hanya memikirkan memaksimasi keuntungan dalam jangka pendek tanpa melihat dampak jangka panjang. Timbulnya moral hazard yang dilakukan oleh para pelaku pasar ternyata tidak bisa dikendalikan sendiri oleh pasar sendiri. Biaya yang ditimbulkan atas moral hazard inilah sulit untuk diekspektasi oleh ekonomi pasar. Biaya inilah yang menjadi beban yang harus ditanggung pemerintah apakah itu untuk bantuan likuiditas, jaminan simpanan, dan lain-lainya yang juga berarti menjadi beban bagi semua pembayar pajak.


Ini juga yang menepis anggapan para kapitalis bahwa pasar yang bebas dari intervensi pemerintah adalah keharusan, nyatanya lagi-lagi pemerintahlah yang menjadi tulang punggung terakhir bagi para kapitalis global untuk lari dari tanggung jawabnya. Tidak mengapa kalau yang menanggung hanya pemerintah AS, kenyataannya seluruh dunia harus ikut menanggung beban moral hazard dari kapitalisme global.

Solusi?
Untuk memberikan ilustrasi mengenai peran informasi yang sempurna, dalam jurnalnya mengenai ekonomi kelembagaan, George Akerlof mengasumsikan pasar mobil di amerika kedalam dua jenis yakni mobil baik dan mobil buruk (lemons). Dalam membeli mobil baru, kita tidak bisa mengasumsikan peluang kualitas mobil itu baik atau lemons sebelum membelinya. Kita baru bisa menilainya dengan pasti setelah mobil tersebut digunakan, berarti terdapat ketidakpastian informasi akan kualitas bila seseorang akan membeli mobil.


Pengandaian yang dilakukan Akerlof dengan menggunakan pasar mobil memang berhasil membuktikan peran penting informasi dalam pasar persaingan saat ini dan membuktikan pernyataan stiglitz bahwa informasi asimetris adalah factor yang paling dominan dibalik kegagalan pasar. Itulah pula yang terjadi saat ini, pasar pada kenyataannya tidak bisa membuktikan kualitasnya sesuai dengan yang dijanjikan, nilai-nilai obligasi reksadana ataupun skema investasi lainnya yang dijual ke masyarakat denagn janji keuntungan yang tinggi ternyata kualitasnya sangat rendah.


Akerlof juga mengkaitkan masalah ketidakpastian informasi ini dengan adanya cost of dishonesty atau biaya ketidakjujuran. Dimana dampak dari biaya ketidakjujuran ini dicontohkan dengan tingginya variasi dalam kualitas produk tertentu karena minimnya aturan standar Quality Control selain itu juga ada factor entrepreneuship dimana sumber daya entrepreneur yang sanggup menilai kualitas masih jarang ada.


Menurutnya ketidakpastian informasi dalam kualitas suatu produk dapat ditanggulangi oleh kelembagaan. Secara sederhana, kelembagaan dapat kita artikan sebagai keberadaan aturan main atau tata nilai. Pasar membutuhkan aturan main yang pasti dan fair. Aturan main ini dapat beruap organisasi yang secara khusus mengatur ataupun dari dalam pelaku apsar sendiri. Contoh sederhana adalah adanya jaminan garansi yang senilai dan tercantum dalam kontrak yang jelas dari penjual atau lisensi yang diberikan kepada penjual barang dan jasa. Lainnya adalah penerapan good corporate governance.


Ini menunjukkan bahwa siapa yang mampu memberikan kelembagaan yang baik atas produknya (baik itu melalui pencitraan merk (brand image), kepemilikan lisensi, pemberian garansi) akan mampu bertahan di pasar.


Peran kelembagaan atau institusi dapat menanggulangi masalah ketidakpastian dengan memberikan jaminan atas ketidakpastian informasi terutama bila kualitas produknya ternyata dibawah dari yang diharapkan pembeli. Inilah yang tidak ada di pasar keuangan dunia selama ini. Konsumen hanya ditipu dengan produk investasi yang tidak bernilai sama sekali. Sementara faktor institusi kelembagaan diabaikan sama sekali bahkan dianggap mengganggu jalannya pasar.


Inti solusinya adalah peran kelembagaan dalam konteks ketidakpastian informasi dapat bersifat menanggulangi (kuratif) dan mencegah (preventif). Para pelaku pasar harus kembali pada nilai-nilai etika bisnis yang menjadi dasar dalam berusaha, penerapan good corporate governance jangan cuma menjadi slogan perusahaan tanpa ada implementasi. dan yang terpenting agar tidak terjebak krisis, masyarakat jangan menjadi risk taker sampai-sampai menggantungkan diri secara penuh pada arus pasar uang dunia yang serba penuh dengan ketidakpastian.


Terakhir, benarlah aturan dagang Islam bahwa dalam berdagang haruslah jelas ijab kabulnya, nyatanya pasar uang yang hanya menjual uang tanpa ada barangnya, hanya menjual mimpi untung besar tanpa ada jaminannya, memang tidak jelas ijabkabulnya dan akhirnya terbukti kehancurannya.


Beberapa tinjauan pustaka:
· Akerlof, George (1970), “The Market for “Lemons”: Quality Uncertainty and the Market Mechanism”, in: Quarterly Journal Of Economics, Vol.
Rachbini, Didik J. (2008), Ekonomi Politik (Ekonomi Kelembagaan Baru), Jakarta:……….
· Stiglitz, Joseph P. (2001), Information and the Change in the Paradigm in Economics, Nobel Prize Lecture.