Tuesday, October 14, 2008

Krisis Keuangan: Dampak Informasi Tidak Sempurna.


Krisis moneter yang terjadi di AS dalam beberapa bulan terakhir ini telah merontokkan kepercayaan publik terhadap kapitalisme. Sayangnya kesadaran datang terlambat, kapitalisme telah terlanjur mendunia. Disinilah kebobrokan jargon globalisasi terungkap. Globalisasi yang selama ini mengagungkan kebebasan pasar telah kebablasan dan secara tidak sadar lupa bahwa asumsi pasar yang sempurna menuntut adanya nilai-nilai etik dalam bisnis berupa informasi yang sempurna bagi semua pihak. Faktor nilai inilah yang telah dilupakan.


Secara kasar dapat dikatakan dalam globalisasi pasar yang terjadi sekarang ini, yang berlaku adalah hukum rimba (yang kuat yang menang) bukan hukum pasar yang sebenarnya. Padahal pasar menuntut kesempurnaan yang berujung pada dijunjungnya nilai-nilai transparansi dan ini disalahartikan menjadi pasar yang bebas sebebas-bebasnya. Dampaknya, seluruh dunia telah terkena virus mimpi indah globalisasi yang ujung-ujungnya hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan multinasional berskala besar dan perusahaan-perusahaan keuangan dunia yang memonopoli informasi pasar.


Nyatanya asumsi bahwa pasar bisa bersaing dengan sempurna sendiri hampir tidak akan pernah terjadi apalagi dalam globalisasi karena hampri mustahil memenuhi semua asumsi pasar persaingan sempurna, padahal perilaku bisnis selalu menuntut adanya keuntungan laba supernormal (ada kelebihan profit) dan mereka akan melakukan berbagai cara untuk memenuhinya. Oleh karenanya siapa yang memiliki informasi tentang pasar paling banyak dialah yang akan memenangkan persaingan.


Salah satu asumsi yang gagal dipenuhi ekonomi pasar adalah asumsi perfect information (informasi yang sempurna di pasar, baik produsen maupun konsumen memperoleh informasi yang sama mengenai komoditas yang ditransaksikan). Kenyataannya perusahaan-perusahaan berkelas multinasional kerjanya hanya melakukan manipulasi informasi, menutupi keuntungan untuk mengurangi pajak, menaik-naikkan keuntungan agar dipercaya pemodal, menutupi audit, memainkan skema pasar uang dan lainnya yang ujung-ujungnya hanya membuat nilai perekonomian yang tinggi namun semu atau maya, pada kenyataannya nilai atau harga yang sebenarnya tidak pernah sebesar nilai nominal yang ditunjukkan baik itu harga saham perusahaan, profit, sampai ke harga produk perusahaan. Pada akhirnya semua terungkap dan ekonomi pasar terbukti tidak memberikan apa-apa kecuali kesejahteraan yang palsu. Seluruh dunia dibuai dengan skema produk investasi keuangan Lehman Brothers yang hanya bergantung pada nama besar si Bank padahal jaminan yang mereka miliki nilai riilnya tidak sebanding dengan nominalnya.


Ini membuktikan bahwa ilmu ekonomi pasar nyatanya tidak mampu menangkap gejala ketidakpastian informasi yang akan terjadi dalam transaksi. Informasi Tidak Sempurna (Asimetris) adalah salah satu penyebab terjadinya kegagalan pasar. Selama ini asumsi ini tidak menjadi fokus perhatian dalam materi-materi ilmu ekonomi, yang lebih dianggap sebagai penyebab kegagalan pasar biasanya hanya monopoli, public goods ataupun eksternalitas (polusi dll).


Menariknya justru masalah Informasi inilah yang menjadi fokus perhatian penyebab krisis saat ini. Sejak awal ekonom senior AS, Joseph Stiglitz sudah memperingatkan bahwa informasi yang asimetris adalah faktor yang paling dominan dibalik kegagalan pasar dan sangat berbahaya bagi globalisasi dak Kenyataannya memang terbukti.


Informasi yang tidak sempurnalah yang beredar di pasar, ini terjadi akibat moral hazard para pelaku pasar global yang hanya memikirkan memaksimasi keuntungan dalam jangka pendek tanpa melihat dampak jangka panjang. Timbulnya moral hazard yang dilakukan oleh para pelaku pasar ternyata tidak bisa dikendalikan sendiri oleh pasar sendiri. Biaya yang ditimbulkan atas moral hazard inilah sulit untuk diekspektasi oleh ekonomi pasar. Biaya inilah yang menjadi beban yang harus ditanggung pemerintah apakah itu untuk bantuan likuiditas, jaminan simpanan, dan lain-lainya yang juga berarti menjadi beban bagi semua pembayar pajak.


Ini juga yang menepis anggapan para kapitalis bahwa pasar yang bebas dari intervensi pemerintah adalah keharusan, nyatanya lagi-lagi pemerintahlah yang menjadi tulang punggung terakhir bagi para kapitalis global untuk lari dari tanggung jawabnya. Tidak mengapa kalau yang menanggung hanya pemerintah AS, kenyataannya seluruh dunia harus ikut menanggung beban moral hazard dari kapitalisme global.

Solusi?
Untuk memberikan ilustrasi mengenai peran informasi yang sempurna, dalam jurnalnya mengenai ekonomi kelembagaan, George Akerlof mengasumsikan pasar mobil di amerika kedalam dua jenis yakni mobil baik dan mobil buruk (lemons). Dalam membeli mobil baru, kita tidak bisa mengasumsikan peluang kualitas mobil itu baik atau lemons sebelum membelinya. Kita baru bisa menilainya dengan pasti setelah mobil tersebut digunakan, berarti terdapat ketidakpastian informasi akan kualitas bila seseorang akan membeli mobil.


Pengandaian yang dilakukan Akerlof dengan menggunakan pasar mobil memang berhasil membuktikan peran penting informasi dalam pasar persaingan saat ini dan membuktikan pernyataan stiglitz bahwa informasi asimetris adalah factor yang paling dominan dibalik kegagalan pasar. Itulah pula yang terjadi saat ini, pasar pada kenyataannya tidak bisa membuktikan kualitasnya sesuai dengan yang dijanjikan, nilai-nilai obligasi reksadana ataupun skema investasi lainnya yang dijual ke masyarakat denagn janji keuntungan yang tinggi ternyata kualitasnya sangat rendah.


Akerlof juga mengkaitkan masalah ketidakpastian informasi ini dengan adanya cost of dishonesty atau biaya ketidakjujuran. Dimana dampak dari biaya ketidakjujuran ini dicontohkan dengan tingginya variasi dalam kualitas produk tertentu karena minimnya aturan standar Quality Control selain itu juga ada factor entrepreneuship dimana sumber daya entrepreneur yang sanggup menilai kualitas masih jarang ada.


Menurutnya ketidakpastian informasi dalam kualitas suatu produk dapat ditanggulangi oleh kelembagaan. Secara sederhana, kelembagaan dapat kita artikan sebagai keberadaan aturan main atau tata nilai. Pasar membutuhkan aturan main yang pasti dan fair. Aturan main ini dapat beruap organisasi yang secara khusus mengatur ataupun dari dalam pelaku apsar sendiri. Contoh sederhana adalah adanya jaminan garansi yang senilai dan tercantum dalam kontrak yang jelas dari penjual atau lisensi yang diberikan kepada penjual barang dan jasa. Lainnya adalah penerapan good corporate governance.


Ini menunjukkan bahwa siapa yang mampu memberikan kelembagaan yang baik atas produknya (baik itu melalui pencitraan merk (brand image), kepemilikan lisensi, pemberian garansi) akan mampu bertahan di pasar.


Peran kelembagaan atau institusi dapat menanggulangi masalah ketidakpastian dengan memberikan jaminan atas ketidakpastian informasi terutama bila kualitas produknya ternyata dibawah dari yang diharapkan pembeli. Inilah yang tidak ada di pasar keuangan dunia selama ini. Konsumen hanya ditipu dengan produk investasi yang tidak bernilai sama sekali. Sementara faktor institusi kelembagaan diabaikan sama sekali bahkan dianggap mengganggu jalannya pasar.


Inti solusinya adalah peran kelembagaan dalam konteks ketidakpastian informasi dapat bersifat menanggulangi (kuratif) dan mencegah (preventif). Para pelaku pasar harus kembali pada nilai-nilai etika bisnis yang menjadi dasar dalam berusaha, penerapan good corporate governance jangan cuma menjadi slogan perusahaan tanpa ada implementasi. dan yang terpenting agar tidak terjebak krisis, masyarakat jangan menjadi risk taker sampai-sampai menggantungkan diri secara penuh pada arus pasar uang dunia yang serba penuh dengan ketidakpastian.


Terakhir, benarlah aturan dagang Islam bahwa dalam berdagang haruslah jelas ijab kabulnya, nyatanya pasar uang yang hanya menjual uang tanpa ada barangnya, hanya menjual mimpi untung besar tanpa ada jaminannya, memang tidak jelas ijabkabulnya dan akhirnya terbukti kehancurannya.


Beberapa tinjauan pustaka:
· Akerlof, George (1970), “The Market for “Lemons”: Quality Uncertainty and the Market Mechanism”, in: Quarterly Journal Of Economics, Vol.
Rachbini, Didik J. (2008), Ekonomi Politik (Ekonomi Kelembagaan Baru), Jakarta:……….
· Stiglitz, Joseph P. (2001), Information and the Change in the Paradigm in Economics, Nobel Prize Lecture.

No comments: