Sebelumnya saya mau protes dulu, kenapa untuk mengumumkan jumlah orang miskin presiden atau pejabat2 selalu bilang: “…’angka kemiskinan’ meningkat sekian persen...”. Apakah orang miskin hanya sebatas angka? Bukankah orang miskin juga bernafas, berjalan, makan, minum, sebagaimana manusia pada umumnya. Orang miskin bukan obyek yang hanya tertulis dalam selembar kertas statistik. Orang miskin adalah manusia yang hidup dan berpikir.
Kembali pada judul, Kenapa (harus) SLT? Dalam perhitungan tingkat kemiskinan ada tiga indikator yang harus dilihat. Selain itu perlu dilihat distribusi pendapatannya. Pertama adalah headcount index (inilah yang dimaksud dengan “angka kemiskinan”), dimana disini kemiskinan hanya dilihat semata dalam jumlah angka yang berada di bawah garis kemiskinan.
Kedua adalah (poverty gap index) atau indeks kedalaman kemiskinan, disini kemiskinan dilihat rata-rata jarak kesenjangan antara pengeluaran orang miskin dengan garis kemiskinan. Ketiga adalah poverty severity index atau indeks keparahan kemiskinan yang melihat seberapa tinggi ketimpangan tingkat pengeluaran diantara orang miskin itu sendiri.
Terakhir adalah distribusi pendapatan yang ditunjukkan oleh Gini Ratio Index dan Theil Index. Indeks ini menunjukkan seberapa besar ketimpangan distribusi pendapatan yang terjadi antara penduduk terkaya dengan penduduk termiskin.
Selama ini yang diumumkan secara resmi selalu jumlah orang miskin hanya dari sisi headcount index saja. Nah yang menjadi pertanyaan, pernahkah diumumkan berapa tingkat kesenjangan kemiskinan (pov’t gap) atau tingkat keparahan kemiskinan (pov’t severity)? Pernahkah pula diumumkan secara luas di media
SLT
Lalu apakah kaitannya? SLT adalah jawaban termudah untuk menurunkan jumlah orang miskin (menurut versi headcount index). Dengan SLT pendapatan nominal orang-orang miskin akan naik dalam sekejap mata. Dengan asumsi satu keluarga terdiri dari 4 orang (kalau program KB benar-benar sukses) maka Rp. 100 ribu sebulan per KK berarti sama dengan Rp. 25 ribu per orang per bulan.
Dengan logika sederhana, anggap saja garis kemiskinan adalah Rp. 170 ribu rupiah saja, maka dengan SLT, jumlah orang miskin dapat berkurang dengan menambahkan Rp 25 ribu tersebut kepada penduduk miskin yang berda sedikit dibawah garis kemiskinan. anggaplah pengeluaran rata-ratanya Rp.160 ribu, maka dengan SLT pendapatan perorang akan naik menjadi Rp. 185 ribu atau naik sedikit diatas garis kemiskinan.
Jika saat pembagian SLT dilakukan bersamaan dengan survey jumlah rumah tangga miskin, maka akan tampak penurunan jumlah orang miskin secara signifikan. Pada kenyataannya orang-orang miskin yang berada sedikit dibawah garis kemiskinan saja yang naik dan akhirnya menjadi dasar bagi argumentasi turunnya jumlah orang miskin. Sementara orang miskin dengan pengeluarannya jauh dibawah garis kemiskinan? Mereka tidak pernah terangkat.
kenaikan itu hanyalah kenaikan nominal income bukan riil income, kenapa? karena dengan motif spekulasi, harga-harga barang otomatis ikut naik begitu SLT dibagikan dan subsidi dihentikan. Hal ini jelas tidak merubah daya beli masyarakat bahkan malah turun meskipun secara nominal pendapatan mereka naik.
Sayangnya lagi, bila pelaksanaan SLT sifatnya hanya sesaat tidak kontinu, semua akan kembali ke keadaan semula. Bila survey jumlah orang miskin oleh BPS dilakukan saat ini jelas jumlah orang miskin akan berkurang secara nominal. Setelah survey selesai dilakukan dan program tidak dikontinukan maka angka kemiskinan akan kembali ke posisi awal. Selain itu ditambah dengan kenaikan harga bahan pokok, maka garis kemiskinan juga akhirnya akan naik, dan SLT pun tidak akan merubah apa-apa kecuali angka statistik jumlah orang kemiskinan (head count index) di atas kertas saja.
Pada akhirnya yang diuntungkan SLT, hanyapihak yang berkepentingan untuk menunjukkan bahwa “angka kemiskinan turun sekian persen” tanpa penjelasan seberapa besar ketimpangannya di lapangan dan seberapa terangkatnya orang miskin yang berada jauh dibawah garis kemiskinan.
Bila kita menggunakan poverty gap index ataupun poverty severity index, tentu keadaan akan berbeda. Data BPS 2007 menunjukkan pov’t gap index dan pov’t severity index dalam tiga tahun terakhir hanya membaik di perkotaan. Tidak di pedesaan. data ini menunjukkan ketimpangan yang amat tinggi antara kedalaman dan keparahan kemiskinan di
Lebih parah lagi pada distribusi pendapatan. Pada kenyataannya sepanjang periode 1999 hingga 2007 menunjukkan indeks Gini Ratio dan indeks Theil terus semakin memburuk hal ini menunjukkan terjadi kesenjangan distribusi pendapatan antara yang terkaya dan termiskin yang semakin tinggi dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan pula bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi, justru malah membuat yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Penutup
Inilah yang harus diperhatikan, kenapa tidak disusun program yang mampu memperbaiki distribusi pendapatan. Dan sebenarnya program yang ada saat ini pun seperti PNPM Mandiri dan PKH mampu untuk memperbaiki distribusi itu. Lalu mengapa program tersebut seakan dinomorduakan pemerintah dan windfall pencabutan subsidi BBM malah diberikan untuk SLT? Kenapa tidak untuk memperbesar cakupan program PNPM Mandiri, PKH serta program-program lain yang jelas-jelas jauh lebih terencana dan tepat sasaran. meskipun hasilnya tidak instan dalam sekejap mata, tapi manfaatnya bagi orang-orang miskin akan jauh lebih besar dan berkelanjutan serta dapat memperbaiki kesenjangan di masyarakat.