Thursday, July 10, 2008

Pembajakan: Siapa coba yang salah???

(yg dimaksud disini bukan bukan bajak pesawat, bajak laut, apalagi bajak sawah)

Sudah sering kita (anda dan saya) denger istilah pembajakan kaset, cd, dll. biasanya istilah ini keluar dari mulut artis-artis, biasanya mereka ngomong gini: "jangan beli yg bajakan ya, beli yang asli", "stop piracy.." dll. apalagi klou udah masuk infotainment. di tivi2 sering juga muncul iklannya.
kalimat-kalimat itu terdengarnya lumrah dan benar logikanya, meskipun pada akhirnya tidak juga ditaati para pembeli (penikmat musik) dan itulah yang menjadi pertanyaan sampai sekarang: "kenapa masyarakat tidak mentaatinya?".
pada dasarnya mendengar musik adalah kebutuhan dasar masyarakat meskipun tidak dpt dikuantifisir dgn mudah seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dll. nah kebutuhan untuk mendengar musik ini dipenuhi oleh supply dari para musisi yang diperantarai oleh label industri musik..
Jadi pada dasarnya tidak salah jika para musisi ingin karya mereka dihargai oleh penikmatnya. tapi pertanyaan besarnya, apakah salah kalau seluruh lapisan masyarakat ingin menikmati hasil karya para musisi tersebut? sementara untuk membeli CD dan Kaset asli mereka tidak mampu atau setidaknya tidak dapat memperioritaskannya karena ada hal lain yg harus dipenuhi (pangan, pendidikan, kesehatan, dll). bukankah mereka juga menghargai para musisi dengan menggumamkan, menyanyikan lagu2 para musisi bahkan hingga memajang poster si musisi di kamarnya.
para produsen dan penjual CD bajakan memang salah dan jelas ilegal, wajar bila dihukum bahkan dikriminalisasi. itu sudah tidak perlu diperdebatkan (dan buktinya jarang terjadi ada penangkapan.
tp dari sisi demand, masyarakat juga berhak menikmati lagu dengan harga terjangkau.
Lalu kenapa hanya masyarakat saja yang diajak para musisi untuk tidak membeli bajakan? kenapa para musisi tidak menghimbau industri musik untuk membuat CD yang murah dan terjangkau?
Logikanya, kalau para pembajak saja bisa menjual CD dengan range 5000-10,000 rupiah, kenapa industri rekaman dgn kapasitas produksi yg seharusnya lebih besar tidak bisa?
kalau alasannya karena tingginya ongkos praproduksi, dengan logika supply demand sederhana saja, toh dengan harga yang lebih murah, demand akan meningkat dan mendorong kapasitas produksi perusahaan sehingga ongkos akan tertutupi.
kalaupun dijual diatas harga bajakan misalnya Rp 15-20,000 per CD, pasti pembelinya akan jauh lebih banyak dan masyarakat akan berpindah dari CD bajakan dan kaset ke CD biasa.
mungkin CD peter pan akan terjual jauh lebih banyak hingga berkali-kali lipat sehingga royalti mereka tetap besar.
oke lah kaset tidak bisa lebih murah, tapi CD???
apalagi perusahaan rekaman yang ada di Indonesia rata2 perusahaan asing dan besar sehingga berperan sebagai oligopolis. jelas-jelas mereka mampu menjadi pricemaker dan mengatur harga, jadi kalau alasannya tidak mungkin karena harga diatur pasar sudah jelas tidak bisa diterima.
itu saja.
intinya, mari kita balik logika berpikirnya. jgn hanya menyalahkan sisi demandnya saja tapi lihat juga peran sisi supplynya (para industri rekaman). seharusnya industri rekaman bisa mensupply musik yang terjangkau oleh rakyat banyak. jadi slogannya harusnya yang diputer itu: musik untuk semua.
udah gitu aja..

2 comments:

@Satria said...

penyebabnya kayaknya memang cost produksi. Ngga bisa dibandingin produknya pembajak sama produknya label secara apple to apple. Selain dari material cd/kaset dan packagingnya, ada juga cost pajak, marketing, distribusi, dan juga royalti. Di proses produksinya pembajak kan ini semua ngga ada? Mereka tinggal memanfaatkan promosi yang udah dilakukan label. Bisa aja produksi ditambah, untuk memenuhi demand, lalu harga diturunkan. Tapi nanti ada variansi harga yang ekstrim dong? Albumnya D'masiv bisa murah karena demand tinggi produksi banyak, tapi albumnya Rafika Duri tetep mahal karena demand ngga banyak. Selanjutnya selisih harga berapa label bisa bersaing dengan pembajak (dengan memperhitungkan cost tambahan tadi), karena nantinya pembeli juga punya "batas psikologis" dalam melakukan pembelian. Katakanlah harga pembajak 10rb vs harga label 20rb, buat masyarakat yang duitnya udah abis buat makan sama bayar kontrakan terus sisa duitnya 10rb, ya tetep aja pilih bajakan. Jadinya percuma harga diturunin malah jadi ngga optimal.

Tapi sangat setuju dengan "....seharusnya industri rekaman bisa mensupply musik yang terjangkau oleh rakyat banyak.." dan slogan "musik untuk semua"-nya. Mungkin kalo jualan musiknya versi MP3 kyak iTunes bisa jauh lebih murah. Tapi tetep aja gadget buat nyetel MP3 nya belum merakyat ya, hehe...

Adi Satria said...

justru itu dia jawabannya, (variasi harga).. penurunan harga itu yg diharapkan oleh pasar apalgi klo bisa diferensiasi produk.. kalo pake keseimbangan pasar sudah seharusnya seperti itu. ketika demand meningkat ya harga otomatis turun ngikutin pasar,, jadi perubahan harga gak masalah.. dan itu lah faktor yg membuat competitiveness produk bajakan menurun..
jelas label tidak akan mampu menyaingi harga bajakan, (apalagi penegak hukumnya kaya gitu) tapi setidaknya produk label akan terjangkau oleh pasar yang lebih luas dan kecenderungan membeli produk bajakan pasti turun..
tapi intinya setuju kan, jgn nyalahin yg beli aja tp juga salahin produsennya juga dong. mungkin kuncinya inovasi di perusahaan rekaman itu sendiri untuk menjangkau rakyat banyak.. tengkyu komennya mas..