


lihat, dengar, perhatikan, pikirkan, bayangkan dan wujudkan..
Berikut ini sedikit pendapat saya atas beberapa isi bagian pidato kenegaraan Presiden 15 Agustus 2008 kemarin di depan Sidang Paripurna DPR-RI.
Salah satu pernyataan dalam pidato tersebut adalah:
“………….Pembangunan ekonomi, kita laksanakan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata. Oleh karena itu, strategi yang saya gariskan adalah strategi ”pertumbuhan disertai pemerataan” atau ”growth with equity”…. “
".......Kita bersyukur, walaupun ditengah tekanan eksternal yang bertubi-tubi, kita telah berhasil menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen, selama tujuh triwulan berturut-turut. Bahkan Produk Domestik Bruto Non Migas, telah tumbuh mendekati 7 persen pada tahun lalu. Pertumbuhan ekonomi kita, meningkat dari 5,5 persen pada tahun 2006 menjadi 6,3 persen pada tahun 2007....."
Nah pertanyaannya: strategi itu sudah dilakukan atau baru mau dilakukan?
Kenyataannya dalam kurun 5 tahun terakhir dengan pertumbuhan ekonomi selalu diatas 6%, ternyata rasio gini Indonesia semakin tinggi (>0,3, semakin mendekati 0,5 semakin tinggi) dari 0,329 di tahun 2002 menjadi 0,376 ditahun 2007, artinya terjadi ketimpangan distribusi pendaptan yang semakin parah, artinys kesenjangan antar masyarakat golongan pendapatan paling atas dan paling bawah terus semakin melebar dalam menikmati porsi hasil pembangunan, terbukti dari tingginya peningkatan kekayaan orang-orang kaya di Indonesia (ketiga tertinggi di Asia).
begitu pula antara desa dan kota, jumlah penduduk miskin, indeks kedalaman kemiskinan, indeks keparahan kemiskinan, selalu lebih tinggi 50% atau 1,5 kali di kota. artinya tidak ada perbaikan kesenjangan antara desa dan kota. hal ini juga menunjukkan pertumbuhan ekonomi cuma terjadi di Kota, bukan di desa. artinya lagi pemerataan pertumbuhan belum masuk ke desa.
anehnya bila dilihat dari Rasio Gini, ketimpangan pendapatan yang lebih besar terjadi di kota, hal ini menunjukkan bahwa pemerataan hasil pertumbuhan di Kota sendiri belum merata. berarti bagaimana pemerataan akan masuk kedesa kalau pertumbuhan di perkotaan saja semakin tidak merata. artinya trickle down effect selama beberapa tahun ini tidak terjadi.
nah ini tugas berat SBY dalam satu tahun terakhir masa jabatannya kalau ia memang concern dengan strategi ”growth with equity”. Tugasnya ialah membuktikan pemerataan yang ia janjikan, tidak hanya pemerataan antara orang kaya dan miskin, tetapi juga pemerataan di desa dan kota.
Kemudian pidato pun dilanjutkan:
“………………..Percepatan pembangunan ekonomi, telah memberikan dampak yang positif baik pada percepatan penurunan tingkat pengangguran terbuka maupun tingkat kemiskinan. Tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2006 mencapai 10,5 persen, kini telah berhasil diturunkan menjadi 8,5 persen pada Februari 2008………”
Ini kenyataan yang bagus, harus kita acungi jempol, tapiiii… ini juga agak menjebak, coba perhatikan tanggal data dikeluarkan (februari 2008), itu adalah tgl pengumuman Sakernas 2008 dari BPS. Jgn lupa kenaikan BBM terjadi setelah tanggal tersebut, Untuk data yang satu ini belum tentu menunjukkan realita di lapangan.
Pidato pun berlanjut:
“……………Begitu pula, tingkat kemiskinan, mengalami penurunan dari 17,7 persen pada tahun 2006 menjadi 15,4 pesen pada Maret 2008. Angka kemiskinan tahun 2008 ini, adalah angka kemiskinan terendah, baik besaran maupun prosentasenya, selama 10 tahun terakhir…………..”
Ya, sama lagi, data dikeluarkan per Maret 2008, sebelum kenaikan BBM. Angkanya pasti benar, tidak salah. tapi realitas kemiskinannya yang menjadi pertanyaan, ternyata bantuan pemerintah, terutama yang instant seperti BLT, diutamakan dibagikan terlebih dulu di Kota-kota Besar (20 kota terbesar), padahal BPS mengambil sampel untuk data kemiskinan dilakukan di Kota-kota besar. Jadi angka kemiskinan Indonesia diatas hanya berdasar atas kemiskinan di Kota-kota besar dong?
Padahal kenyataannya, kemiskinan di kota besar pada umumnya hanya berada sedikit di bawah garis kemiskinan, sementara di pedesaan berada jauh di bawah garis kemiskianan, artinya bantuan pemerintah bila diberikan di pedesaan belum tentu menggeser orang miskin naik diatas garis kemiskinan. Berarti lagi bantuan sengaja/tidak sengaja diberikan di kota besar telah merubah angka statistik kemiskinan secara instant karena hanya bermain-main di garis kemiskinan? Jangan sampai orang miskin Indonesia akhirnya nasibnya cuma jadi angka laporan diatas kertas. (lebih jelasnya baca posting saya sebelum ini : kenapa (harus) SLT?)
dengan melihat data kemiskinan secara terpisah antara kota dan desa, terlihat, indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan di kota perkotaan memang semakin membaik, tetapi tidak di desa, angka indeks kedalaman dan keparahan cenderung fluktuatif. angka indeks keparahan di desa relatif tinggi dari 0,85 ditahun 2002 menjadi 0,93 ditahun 2003, turun sedikit ke 0,89 di tahun 2005, dan menjadi 1,22 ditahun 2006, kemudian 1,09 di tahun 2007. ini menunjukkan pemerataan belum terjadi
Lanjutkan lagi pidatonya:
“……….Animo dan ekspansi Kredit Usaha Rakyat dalam kurun waktu singkat, menunjukkan betapa besarnya potensi ekonomi masyarakat kita. Hingga tanggal 31 Juli 2008, telah direalisasikan KUR sejumlah Rp. 8,9 Triliun, dengan jumlah debitur lebih dari 950 ribu orang di seluruh tanah air. KUR ini diutamakan untuk kredit di bawah Rp. 5 juta, dan tanpa agunan tambahan……………”
Nah ini yang Bagus! harusnya bantuan seperti ini yang digalakkan. SBY harus lebih mengutamakan bantuan-bantuan klaster kedua dan ketiga seperti ini untuk mengentaskan kemiskinan, termasuk PNPM yang bersifat partisipatif ketimbang bantuan Instan model BLT. meskipun prestasi angka statistik tidak sebaik dan secepat yang dihasilkan BLT, tapi manfaatnya jauh lebih tepat sasaran dan beramnfaat dalam jangka panjang (tidak habis begitu saja/tidak bakar duit, tapi melahirkan duit lagi).
dengan program bantuan model klaster kedua dan ketiga, menang ataupun tidak menangnya SBY dalam pilpres 2009, manfaatnya akan sangat diterima seluruh rakyat dan catatan sejarahnya tidak akan pernah hilang.
Yah sekali lagi buat penutup, terlepas apapun isi pidato presiden SBY kemarin, semua tindakannya selama ini tetap harus dihormati. seluruh pencapaian, kebijakan, tindakan dan dampaknya tidak dapat dinilai sekarang, semua akan terlihat dan terungkap nanti dalam satu kesatuan lintasan sejarah Indonesia yang tidak pernah bisa dihapus, baik atau buruk.
Oleh karena itu, sudah seharusnya momen satu tahun terakhir masa jabatan presiden SBY saat ini, setiap kebijakannya harus benar-benar dirasakan oleh rakyat, tanpa perlu memikirkan hasil pilpres 2009 nanti menang atau kalah.
(sayangnya buat banyak orang kita, hasil yang bagus malah gampang dilupakan, sementara hasil yang jelek terus diingat bukan dipelajari, akhirnya malah presidennya saja yang disalahkan)
Sebelumnya saya mau protes dulu, kenapa untuk mengumumkan jumlah orang miskin presiden atau pejabat2 selalu bilang: “…’angka kemiskinan’ meningkat sekian persen...”. Apakah orang miskin hanya sebatas angka? Bukankah orang miskin juga bernafas, berjalan, makan, minum, sebagaimana manusia pada umumnya. Orang miskin bukan obyek yang hanya tertulis dalam selembar kertas statistik. Orang miskin adalah manusia yang hidup dan berpikir.
Kembali pada judul, Kenapa (harus) SLT? Dalam perhitungan tingkat kemiskinan ada tiga indikator yang harus dilihat. Selain itu perlu dilihat distribusi pendapatannya. Pertama adalah headcount index (inilah yang dimaksud dengan “angka kemiskinan”), dimana disini kemiskinan hanya dilihat semata dalam jumlah angka yang berada di bawah garis kemiskinan.
Kedua adalah (poverty gap index) atau indeks kedalaman kemiskinan, disini kemiskinan dilihat rata-rata jarak kesenjangan antara pengeluaran orang miskin dengan garis kemiskinan. Ketiga adalah poverty severity index atau indeks keparahan kemiskinan yang melihat seberapa tinggi ketimpangan tingkat pengeluaran diantara orang miskin itu sendiri.
Terakhir adalah distribusi pendapatan yang ditunjukkan oleh Gini Ratio Index dan Theil Index. Indeks ini menunjukkan seberapa besar ketimpangan distribusi pendapatan yang terjadi antara penduduk terkaya dengan penduduk termiskin.
Selama ini yang diumumkan secara resmi selalu jumlah orang miskin hanya dari sisi headcount index saja. Nah yang menjadi pertanyaan, pernahkah diumumkan berapa tingkat kesenjangan kemiskinan (pov’t gap) atau tingkat keparahan kemiskinan (pov’t severity)? Pernahkah pula diumumkan secara luas di media
SLT
Lalu apakah kaitannya? SLT adalah jawaban termudah untuk menurunkan jumlah orang miskin (menurut versi headcount index). Dengan SLT pendapatan nominal orang-orang miskin akan naik dalam sekejap mata. Dengan asumsi satu keluarga terdiri dari 4 orang (kalau program KB benar-benar sukses) maka Rp. 100 ribu sebulan per KK berarti sama dengan Rp. 25 ribu per orang per bulan.
Dengan logika sederhana, anggap saja garis kemiskinan adalah Rp. 170 ribu rupiah saja, maka dengan SLT, jumlah orang miskin dapat berkurang dengan menambahkan Rp 25 ribu tersebut kepada penduduk miskin yang berda sedikit dibawah garis kemiskinan. anggaplah pengeluaran rata-ratanya Rp.160 ribu, maka dengan SLT pendapatan perorang akan naik menjadi Rp. 185 ribu atau naik sedikit diatas garis kemiskinan.
Jika saat pembagian SLT dilakukan bersamaan dengan survey jumlah rumah tangga miskin, maka akan tampak penurunan jumlah orang miskin secara signifikan. Pada kenyataannya orang-orang miskin yang berada sedikit dibawah garis kemiskinan saja yang naik dan akhirnya menjadi dasar bagi argumentasi turunnya jumlah orang miskin. Sementara orang miskin dengan pengeluarannya jauh dibawah garis kemiskinan? Mereka tidak pernah terangkat.
kenaikan itu hanyalah kenaikan nominal income bukan riil income, kenapa? karena dengan motif spekulasi, harga-harga barang otomatis ikut naik begitu SLT dibagikan dan subsidi dihentikan. Hal ini jelas tidak merubah daya beli masyarakat bahkan malah turun meskipun secara nominal pendapatan mereka naik.
Sayangnya lagi, bila pelaksanaan SLT sifatnya hanya sesaat tidak kontinu, semua akan kembali ke keadaan semula. Bila survey jumlah orang miskin oleh BPS dilakukan saat ini jelas jumlah orang miskin akan berkurang secara nominal. Setelah survey selesai dilakukan dan program tidak dikontinukan maka angka kemiskinan akan kembali ke posisi awal. Selain itu ditambah dengan kenaikan harga bahan pokok, maka garis kemiskinan juga akhirnya akan naik, dan SLT pun tidak akan merubah apa-apa kecuali angka statistik jumlah orang kemiskinan (head count index) di atas kertas saja.
Pada akhirnya yang diuntungkan SLT, hanyapihak yang berkepentingan untuk menunjukkan bahwa “angka kemiskinan turun sekian persen” tanpa penjelasan seberapa besar ketimpangannya di lapangan dan seberapa terangkatnya orang miskin yang berada jauh dibawah garis kemiskinan.
Bila kita menggunakan poverty gap index ataupun poverty severity index, tentu keadaan akan berbeda. Data BPS 2007 menunjukkan pov’t gap index dan pov’t severity index dalam tiga tahun terakhir hanya membaik di perkotaan. Tidak di pedesaan. data ini menunjukkan ketimpangan yang amat tinggi antara kedalaman dan keparahan kemiskinan di
Lebih parah lagi pada distribusi pendapatan. Pada kenyataannya sepanjang periode 1999 hingga 2007 menunjukkan indeks Gini Ratio dan indeks Theil terus semakin memburuk hal ini menunjukkan terjadi kesenjangan distribusi pendapatan antara yang terkaya dan termiskin yang semakin tinggi dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan pula bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi, justru malah membuat yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Penutup
Inilah yang harus diperhatikan, kenapa tidak disusun program yang mampu memperbaiki distribusi pendapatan. Dan sebenarnya program yang ada saat ini pun seperti PNPM Mandiri dan PKH mampu untuk memperbaiki distribusi itu. Lalu mengapa program tersebut seakan dinomorduakan pemerintah dan windfall pencabutan subsidi BBM malah diberikan untuk SLT? Kenapa tidak untuk memperbesar cakupan program PNPM Mandiri, PKH serta program-program lain yang jelas-jelas jauh lebih terencana dan tepat sasaran. meskipun hasilnya tidak instan dalam sekejap mata, tapi manfaatnya bagi orang-orang miskin akan jauh lebih besar dan berkelanjutan serta dapat memperbaiki kesenjangan di masyarakat.
Kenapa ekonom/pengamat biar banyak omong tetep harus ngomong?
(maksudnya kenapa pengamat itu penting...)
Coba anda lari bolak balik 100 m atau brapa ratus meter lagi terserah.. (sori kalo cape..)
Ampe keringetan..
cape..
aus..
trus coba cari satu gelas aer putih..
Lari dari depan rumah ke dapur..
Aer galon abis..
Lari dulu bawa galon-isi ulang atau tuker ama yang penuh..
Bawa balik lagi ke rumah..
Trus Minum..
Glek..glek..glek..
Abisin..
Glek..glek..glek....
Ambil lagi..
Abisin lagi..
Ambil lagi..
Abisin lagi...
Ambil lagi...
abisin lagi...
Whueeek.....
Awalnya kita butuh aer putih dan aer putih itu langka..
kita cari, kita korbanin segalanya demi segelas air putih... udah kita dapet aernya trus?
Kita minum..minum lagi .. minum lagi ampe puas (dasar manusia..) trus ampe puasnya abis kita overload.. muntah.. kebanyakan minum......
*contoh diatas itu contoh umum dipake di pelajaran ekonomi...(biasanya contonya cocacola-tapi kayanya ga sehat abis lari minum cocacola)...
Sekarang coba bayangin kalo pas anda minum gelas aer putih kedua trus dateng temen anda ngingetin ”udah jangan kebanyakan minumnya.. tar muntah”, saya jamin 90% dari anda semua ga peduli dan terus minum..(tapi anda jadi waspada jaga-jaga jangan sampai anda muntah)
Bayangkan kalo tidak ada teman anda yang mengingatkan mungkin anda akan minum sampai anda muntah..
Dan bayangkan,, meskipun sudah ada teman anda yang mengingatkan anda masih saja tidak peduli..
lalu anda mungkin agak mengerem tapi gengsi dikitlah, nambah dulu gelas ke tiga baru berhenti minum.. dan anda tidak muntah..alhamdulillah (anda jadi waspada takut muntah karena teman anda sudah mengingatkan)
Nah sekarang bayangkan kalau kejadian diatas terjadi di dunia yang jauh lebih makro.. dan anggap teman anda itu adalah ekonom..
Apa yang terjadi tanpa ekonom? Siapa yang akan mengingatkan kalo ekonomi kalo dibiarkan berjalan seperti keadaan x sudah diambang resesi? Siapa yang akan mengingatkan petani kalo terlalu banyak panen cabe, cabe gakan ada harganya? Siapa yang akan mengingatkan kalo inflasi turun terus bisa nambah pengangguran? Siapa yang mengingatkan kalo uang dicetak trus bisa bikin inflasi?
Memang belum tentu terjadi tapi setidaknya kita semakin waspada agar dampak yang dikatakan si ekonom/pengamat tidak terjadi..
Sebanyak-banyak omongnya pengamat mendingan daripada ga ada yang ngomong sama sekali...
udah sgitu aja..
efisien?
"jang, makan yuk di hokben?" kata si udin..
ujang bales.."ah, ga ah, sayah mah lg penghematan biar efisien.. tanggal tua"
udin ngomong.."ah, ya udah, saya sendiri aja kalo gtu mah.. pinjem motor dong.."
ujang bales "eh kumaha, hemat bensin.. sing efisien atuh,, itu hokben cuma 100 meter dari sini..leumpang we (jalan kaki aja)"
udin bilang.."puguh justru biar efisien,, pan hemat tenaga... laper"
kata ujang bales: "ya udah tapi pulangna jalan kaki, pan udah ada tenagaan.. motorna maneh gotong we sakalian meh efisien"
udin ngoceh: "iya, tapi ga efektif"
ujang bingung.. "...geus ah lieur.." dst..dst..
saya yakin (insyaalloh) dialog yang mirip sering terjadi pula di kehidupan kita (seenggaknya di kehidupan saya) sehari-hari,
kata-kata "EFISIEN..EFEKTIF"
disini saya mau sedikit berbagi cerita tentang si efisien ini.. (tentang si efektif mah laen kali aja ya dilain waktu dan kesempatan...)
ada satu hal yang saya pelajari baru-baru ini dikelas..
(jadi anda yakin kalo itu kliatannya empiris di kelas, bukan reka2 saya.. sebenernya sy udah sering belajar ttg ini dari dulu waktu s1, cuman yah, ngerti lah, masuk telinga kanan keluar telinga kiri, kadang2 masuk otak kanan mentok ga mo pindah ke otak kiri, tapi kuliah yang kemaren malem ini, saya korek2 lagi kepala saya, saya coba simpen dan pindahin ke coret-coretan kertas)
tentang "efisien.."
(ini semua disederhanakan, sesederhana -sederhana mungkin sesuai otak yang sy yang sederhana (pentium 1) dari konsep tentang edgeworth box dan pareto optimum, jadi kebenaran isinya masih dibawah 50% heuheuu..)
anggep anda dan saya lagi makan 10 sate kambing dan smangkok gule kambing,
secara etika dan moral masing2 dan secara tidak tertulis klo mo adil mereka bakal makan fifty2,,
hal ini karena keduanya dianggap akan punya tingkat kepuasan yang sama, soalnya berat badan sama" 99 kg, tinggi badan 184cm, lingkar pinggang 38 cm, sehari makan biasa 4x2piring.. dengan kapasitas usus perut yang sama juga nafsu serta selera makan yang mirip pula..
ga ada org laen disitu, dan gada lagi yang jualan sate kambing ama gule untuk radius 10km..
kita dikatakan blon efisien selama saya atau anda masih bisa nambah sate kambing dan gule kambing..
satu tusuk...dua tusuk...tiga tusuk...
satu sruputt..dua sruputt..tiga sruputt ..
sampe kita puas..
dan blum ada yang jatah sate kambing atau gulenya keambil ama yang laen..
nah berhubung saya lebih laper..
saya makan lebih cepet dari anda..
sekalinya saya mo nambah sate ke enam..
sate yang bisa saya ambil tinggal sate yang anda anggap jatah anda karena sate yang kesisa masih ada 3,,
mau ga mau klo saya mau nambah sate berarti saya harus ambil jatah anda satu...klo kita bukan temenan, bisa2 berantem klo perlu.. maklum nyandu kambing..
nah itu namanya trade off,, ketika kita mo nambah sesuatu untuk kepuasan kita harus ada orang laen yang dirugikan karena diambil barangnya..
nah, sesuatu baru dibilang efisien, kalo kita mo nambah kepuasan, mau tidak mau kita harus trade off.. nah disitu uniknya..
itu satu hal tentang efisien..
lalu muncul pertanyaan, adil ga kalo kita mo nambah harus ada org laen yang harus dirugikan..?
adil juga ga klo kita ga bisa nambah kepuasan kita gara2 org laen? masih sederet pertanyaan lagi yang bisa muncul seputar efisien..
makanya banyak yang bilang (insyaalloh banyak..) :
"bakal selalu ada trade off antara efisiensi dan keadilan.."
saya juga bingung kalo ditanya mana yang bener :
efisien atau keadilan (equity).. soalnya dua2nya bisa bener bisa aja salah..
nah sekarang apakah kata efisien yang anda-anda sering ucap selama ini punya konsep yang sama dengan konsep efisien yang satu ini?
(informasi lebih jelas dan JAUH LEBIH BENAR cari referensi di wikipedia atau yang lain tentang topik : edgeworth box, pareto efficient, pareto optimum, economic efficient, dll sbgnya yang mirip2.. )
(kalo ternyata saya yang salah maapin aja ya.. hehe.. setidaknya anda tambah tahu kalo sebenernya anda lebih tahu dari saya)
sekarang pertanyaan berikutnya? keadilan sendiri apa?
yah saya coba cari tau dulu trus tulis2 di tulisan berikutnya...
ktemu lagi ditulisan berikutnya..